
“Bukan Sekadar Perjalanan, Ini Tentang Bertahan dan Berbagi: Day 4 di Aceh”
Day 4 | 29 Desember 2025
Pagi itu, Takengon belum sepenuhnya pulih dari luka. Kabut masih menggantung rendah ketika tim Ruang Baik bersiap meninggalkan kota, namun langkah kami tertahan oleh satu amanah terakhir: menyalurkan bantuan sembako ke Dusun Luang, Kecamatan Pegasing. Di dusun ini, bencana tak hanya datang sebagai hujan deras, tetapi menjelma longsor dan banjir lumpur yang merampas ruang hidup warga. Dua rumah tercatat tertimbun longsor, sementara rumah-rumah lainnya terendam lumpur tebal. Jalan-jalan kampung berubah menjadi aliran sungai dadakan, memaksa warga bertahan di antara puing, lumpur, dan ketidakpastian. Banyak keluarga kehilangan tempat tinggal yang layak dan kini sepenuhnya bergantung pada bantuan darurat.
Menjelang siang, tim meninggalkan Takengon. Namun perjalanan ini bukan sekadar perpindahan lokasi—ia adalah lintasan amanah. Di Bireuen, tim menyerahkan mushaf Al-Qur’an dan buku Iqra dari Ruang Baik kepada salah satu anggota Inong Aceh. Amanah ini akan diteruskan kepada para penyintas serta santri-santri pondok pesantren di wilayah sekitar, yang aktivitas belajarnya ikut terganggu akibat bencana. Perjalanan berlanjut ke Lhokseumawe, di mana Al-Qur’an kembali diserahkan kepada anggota Inong Aceh lainnya untuk didistribusikan ke titik-titik terdampak.
Menjelang malam, tim beristirahat di Masjid Raya Langsa. Masjid ini menjadi saksi kelelahan yang tertahan, sekaligus tempat menguatkan niat sebelum melanjutkan perjalanan. Keesokan harinya, tim bergerak menuju Aceh Tamiang—wilayah yang menurut laporan awal merupakan daerah terdampak paling luas. Di Pondok Pesantren Darul Muchlisin, Desa Tanjung Karang, bekas-bekas banjir dan longsor masih jelas terlihat. Lumpur mengering di sudut-sudut bangunan, aktivitas pesantren berjalan seadanya, dan anak-anak belajar dalam kondisi yang jauh dari normal.
Tim melakukan dokumentasi lapangan sekaligus menyalurkan bantuan awal berupa susu dan snack untuk anak-anak. Dari hasil pantauan dan informasi warga serta pengelola pesantren, diketahui bahwa banjir dan longsor berdampak pada ratusan kepala keluarga di Aceh Tamiang, merusak rumah warga, fasilitas pendidikan, hingga kantor-kantor pemerintahan. Akses logistik di beberapa desa masih terbatas, dan kebutuhan dasar seperti pangan, air bersih, perlengkapan anak, serta alat kebersihan masih sangat dibutuhkan.
Menindaklanjuti kondisi tersebut, tim segera kembali ke Langsa untuk membelanjakan sisa dana amanah dan melakukan pengemasan bantuan tambahan. Sekitar pukul 17.00 WIB, tim kembali bergerak menuju Aceh Tamiang dan tiba tepat setelah Maghrib. Penyaluran malam itu dibantu oleh salah seorang warga setempat—saksi hidup bencana—yang pagi harinya sempat kami wawancarai tentang bagaimana banjir datang tanpa jeda dan memutus aktivitas warga dalam hitungan jam. Pada malam tersebut, tim berhasil menyalurkan 50 paket sembako dan 60 paket susu serta snack, yang langsung diterima oleh keluarga terdampak dan anak-anak.
Aceh Tamiang kini seperti kota yang kehilangan denyutnya. Tidak hanya rumah-rumah warga yang rusak dan terendam, tetapi juga sekolah, pesantren, dan fasilitas pemerintahan ikut lumpuh. Di beberapa titik, aktivitas ekonomi berhenti total. Masa pemulihan diperkirakan akan panjang dan membutuhkan pendampingan berkelanjutan. Menyaksikan langsung kondisi ini membuat dada terasa sesak—seakan bencana bukan hanya menghancurkan bangunan, tetapi juga menguji daya tahan harapan manusia.
Ini bukan hari terakhir kami di lokasi. Bantuan masih sangat dibutuhkan, terlebih menjelang bulan Ramadhan di mana kebutuhan pangan, ibadah, dan pemulihan sosial akan semakin meningkat. Ruang Baik mengajak seluruh orang baik untuk terus membersamai dan menguatkan saudara-saudara kita yang tengah berjuang bangkit dari dampak bencana ini—karena di tengah lumpur dan puing, harapan hanya bisa hidup jika kita menjaganya bersama







