
Di timur Indonesia yang jauh dari hiruk-pikuk kota, di balik lebatnya hutan dan jalan yang berliku, tersembunyi kampung-kampung kecil yang mungkin tak pernah disebut di berita, tak muncul dalam program pembangunan besar, dan tak masuk dalam daftar tujuan wisata. Kampung Parek, Kampung Noah dan Dusun-Dusun Lainnya di Desa Sanonggoang Kecamatan Sanonggoang Kabupaten Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur. Dusun-dusun lain di sekitar kawasan hutan ini adalah nama-nama yang asing bagi banyak orang, tapi bagi mereka yang tinggal di sana, tempat-tempat ini adalah segalanya. Rumah, harapan dan satu-satunya tempat pilihan untuk bertahan hidup.
Di Kampung Parek, umat Islam hidup sebagai minoritas. Dari ratusan kepala keluarga, hanya sekitar 22 KK yang memeluk Islam. Mereka hidup berdampingan dengan damai bersama masyarakat lain, tapi di balik keheningan dan kesederhanaan hidup mereka, tersimpan kerinduan yang mungkin tak banyak dipahami oleh orang kota. Kerinduan akan pelukan atas nama persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah). Kerinduan akan hadirnya saudara seiman dari luar desa mereka yang bisa menguatkan hati, menyemangati iman, dan memberi mereka sebuah perasaan bahwa mereka tidak sendiri.
Setiap kali Idul Adha tiba, anak-anak di Kampung Parek bertanya kepada orang tua mereka: “Apakah tahun ini ada kurban?”. Sering kali jawabannya hanya senyum tipis dan helaan napas panjang. Sebab pekurban di kampung ini sangat jarang. Kadang bahkan tak ada sama sekali. Tapi mereka tetap bertakbir, tetap salat Ied dengan pakaian terbaik yang mereka punya, dan tetap menyimpan harapan, bahwa suatu hari nanti, kurban akan datang.
Bukan hanya sebagai daging yang mengenyangkan, tapi sebagai bukti bahwa mereka masih bagian dari umat ini, umat Islam. Di sisi lain, Kampung Noah, tempat umat Islam berjumlah lebih banyak, menghadapi tantangan berbeda. Bukan sekadar soal jumlah, tapi tentang menjaga semangat berbagi dan kebersamaan di tengah keterbatasan.
Di sini, kurban menjadi momentum tahunan untuk memperkuat tali persaudaraan. Sebab di tempat terpencil seperti ini, satu ekor kambing bisa menyatukan puluhan hati dan menyambung silaturahmi.
Membawa hewan kurban ke kampung-kampung seperti Parek dan Noa bukan perkara mudah. Jalanan berbatu, jembatan kecil yang rapuh, dan medan menantang membuat proses distribusi membutuhkan tenaga, waktu, dan mental baja. Namun siapa pun yang pernah melihat wajah anak-anak di sana saat melihat daging kurban tahu satu hal pasti. Ini semua layak diperjuangkan.
Karena kurban di tempat seperti ini bukan sekadar ibadah penyembelihan, melainkan sarana dakwah yang hidup. Saat seekor kambing diturunkan dari kendaraan, saat takbir bergema meski hanya dari puluhan suara, saat daging dibagikan ke tangan-tangan kecil yang belum pernah benar-benar kenyang, di situlah Islam berbicara dalam bentuk paling nyata: kasih sayang, kepedulian, dan ukhuwah.
Dusun-dusun di sekitar wilayah hutan (Buffer Zone) adalah ruang yang sering luput dari perhatian. Mereka jauh, sulit dijangkau, dan sedikit yang peduli. Bantuan jarang datang. Layanan kesehatan terbatas. Anak-anak tumbuh seadanya, dengan gizi yang belum memadai dan akses pendidikan yang pas-pasan.
Stunting dan gizi buruk bukan isu nasional di sana, itu adalah kenyataan harian. Di tempat seperti itu, sepotong daging bisa menjadi suplemen bergizi yang sangat berharga. Protein hewani yang biasanya hanya bisa mereka lihat di pasar, kini bisa mereka cicipi walau hanya sekali setahun.
Dan di balik itu semua, mereka juga merasa: “Ada yang peduli pada kami.”
Kurban menjangkau mereka yang paling ujung. Yang paling sering tak terdengar. Yang bahkan mungkin tak tahu bagaimana rupa dunia di luar kampung mereka. Dan itu cukup untuk menyulut semangat baru, meski hanya sesaat.
Sebagai warga minoritas (warga muslim), kurban menguatkan jati diri. Di tengah keterbatasan, kurban menghadirkan kekuatan. Dan di tengah sunyi, kurban menjadi suara yang menegaskan, kita adalah satu umat, satu tubuh, satu keluarga besar. Bagi para orang tua di Kampung Parek dan Noa, kehadiran kurban adalah pembuktian bahwa anak-anak mereka masih punya masa depan yang patut diperjuangkan.
Bahwa muslimin di Perkotaan tidak melupakan mereka. Bahwa saudara-saudara mereka yang jauh masih ingat dan peduli. Dan bagi anak-anak, kurban adalah hari bahagia. Hari di mana mereka bisa makan daging, bukan dari sisa-sisa lauk di kota, tapi dari ibadah besar yang mereka tahu adalah bagian dari agama yang mereka cintai.
Setiap tahun, ada banyak kampung seperti Parek dan Noah. Mereka tak menulis surat permintaan. Tak mengirim proposal. Tapi mereka berdoa dengan sungguh-sungguh, agar Allah mengirimkan hati-hati dermawan yang mau melihat ke arah mereka. Dan jika Anda membaca cerita ini, barangkali Andalah yang sedang dijawab oleh doa-doa itu.
--------
Untuk ikut Tebar Qurban Masyarakat Desa Sekitar Hutan di Desa Parek, NTT sekaligus memberdayakan peternak lokal:
Hubungi : wa.me/6281381736776
E. Dhiana Nariska
Relationship Officer Ruang Baik